Adakah privasi di dunia maya?
Pertanyaan ini merebak tatkala email seorang dirut media besar, yang
marah-marah ke direksi dan redaksinya, beredar luas di Twitter,
Facebook, Kaskus dan media sosial lain, setelah diposting di sebuah blog
Kompasiana. Lalu seperti biasa, dari media sosial, naik pangkat ke
media konvensional, menjadi berita di Kompas.com.
Sebagian pengguna media sosial pun belakangan bertanya-tanya, etiskah
menyebarkan postingan di Path ke Twitter atau Facebook? Sebagaimana
kita tahu, Path dianggap sebagai media sosial yang “tertutup” karena
hanya bisa berteman dengan 150 orang. Biasanya hanya teman-teman dekat,
bahkan sangat dekat, yang masuk daftar 150 itu. Tak heran jika
percakapan di Path jauh lebih bebas, penuh canda yang “nyrempet-nyrempet
bahaya”, yang tak mungkin ditulis di Facebook maupun Twitter.
Tapi, apa daya, kadang ada percakapan yang tanpa tedeng aling-aling
itu di-printscreen lalu disebarkan oleh orang lain di Twitter dan
Facebook, sehingga dari percakapan 150 orang meluas menjadi ribuan,
puluhan ribu, atau bahkan jutaan orang, yang menghujat.
Bahkan twit akun Twitter bergembok pun, yang penggunanya merasa perlu
menggembok diri agar lebih privat, bisa tersebar luas dengan mudah.
Jadi, kembali lagi ke pertanyaan tadi: adakah privasi di dunia maya?
Data apapun, jika sudah berbentuk digital, sesungguhnya sangat rentan terhadap privasi.
Tak usah jauh-jauh di social media, setiap hari kita ditawari kartu
kredit, pinjaman lunak dan sejenisnya via SMS maupun telpon langsung.
Mereka bisa mendapatkan data nomor telpon kiita dari mana?
Bukan hanya data pribadi seperti nomor telpon, perilaku kita di
digital pun terekam baik dan (kalau bocor) bisa dibaca pihak lain dan
disalahgunakan.
Tanpa login ke foursquare, kita ketahuan sedang ada di mana, saat
ngetwit atau update status di Facebook dengan menyertakan lokasi
(location based).
Bahkan, tanpa ngetwit dan update Facebook pun ada yang bisa tahu pagi
tadi kita di mana lalu sore berada di mana dari data-data BTS telepon
seluler.
Jika menggunakan ponsel Android, tanpa sadar perjalanan kita
sehari-hari pun direkam. Google tahu jam berapa kita berangkat kantor,
jalur mana yang paling sering dilintasi menuju kantor, dan kapan jam
pulang paling sering.
Ada yang bisa mendeteksi, bangun tidur kita telpon siapa, membaca
apa, nonton acara apa, dan kegiatan lain-lain yang kita anggap privat.
Apapun mengenai kita, yang berbentuk digital, terekam dengan baik.
Malaikat digital kini ada di mana-mana mencatat jejak-jejak digital kita detik demi detik.
Nah, kini pun kita secara sadar, suka rela, membantu malaikat digital
mencatatkan sebagian hidup kita dengan untaian kata, gambar, video ke
Twitter, FB, Youtube, Instagram, Vine, dan lainnya. Iya, suka rela!
Kita menjadi malaikat digital secara suka rela, mencatat amal baik dan buruk kita sendiri di social media.
Dengan situasi seperti itu dan perilaku kita sendiri, masihkah perlu bertanya adakah privasi di dunia maya?
Di dunia digital, PRIVASI itu HOAX.
Tidak ada.
Tidak eksis.
Pertanyaanya: lalu apa yang sebaiknya kita lakukan di dunia digital?
Yang bisa kita lakukan: jangan kebablasan menjadi malaikat digital
yang dengan sukarela mencatat semua amal kita, entah baik entah buruk.
Kembalilah menjadi manusia.
Menjadi manusia yang memilih kapan dan amal digital mana yang ingin kita catat.
Ungkapan sayang ke kekasih yang kita anggap privat misalnya,
bisikkanlah ke telinganya, tak perlu kita digitalkan dalam bentuk twit,
status Facebook atau sejenisnya.
Biarlah malaikat yang repot mencatat bisikan cintamu ke kekasih.
Pertengkaran rumah tangga, organisasi, dan sejenisnya yang kita
anggap tabu diketahui orang lain, usahakan jangan dalam bentuk digital.
Marahlah langsung dengan kata dan isyarat tubuh. Hindari marah di media
sosial, email, atau format digital lain, termasuk SMS sekalipun.
Yang kita anggap privasi dalam kehidupan sehari-hari, tak perlu didigitalkan.
Kalau bisa. Ya, kalau bisa.
Di era digital, privasi kita lebih
terjaga jika kita bertingkah sebagai manusia, bukan malaikat digital
yang mencatatkan apa saja di dunia digital.
sumber: http://www.sudutpandang.com/2014/04/berhentilah-menjadi-malaikat-digital/#.U1DhwxFCQ4U.facebook
http://www.sudutpandang.com/2014/04/berhentilah-menjadi-malaikat-digital/#.U1DhwxFCQ4U.facebook
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
SILAHKAN BERKEMENTAR DEMI UNTUK MEMBANGUN AKAN KESEMPURNAAN BLOG INI.TERIM KASIH